"Kembalikan Indonesiaku"

18 Januari 2011

Sejarah yang bagai air terus mengalir

Saat kali pertama menulis di blog ini dengan judul postingan “Asal Mula Negeri yang Bernama Wolio-Buton” pada bagian akhir postingan saya menuliskan adanya pertanyaan: siapakah kali pertama yang memberikan nama buton, butuni, bathin, pada gugusan pulau di tenggara jasirah sulawesi itu?”

Namun karena kesibukan saya dan “minimnya” literatur, ditambah tidak self confidence-nya saya menggali sesuatu yang bukan bidang saya, akhirnya janji untuk melanjutkan postingan tersebut belum sempat terselesaikan. Pun walaupun sejak kecil saya sudah akrab dengan sejumlah manuskrip kesultanan Buton, saya masih belum punya keberanian menulis sejumlah hal tentang negeri Buton. Saya justru lebih sering menulis dan posting di blog saya yang lain yang berisi review produk software, utility, tips & triks, dll, serta sejumlah aktivitas blogging lainnya. Saya lebih memilih posting di blog masa kini saya (present & future) sehingga blog masa lampau (past) tertinggalkan.

Pada waktu lebaran Idul Fitri dan Idul Adha “kemaren”, setelah lebih dari 12 tahun (dua belas tahun) terakhir kali kunjungan saya, akhirnya saya pulang kampung lagi ke Buton, Butuni, Bathin, tepatnya di kampung halaman, di Wajo. Istilah kampung halaman saya sebenarnya kurang tepat. Lebih tepatnya kampung halaman orang tua saya. Karena saya lahir dan dibesarkan nun jauh dari pulau Bathin. Frekuensi pulang kampung ke Buton bisa dihitung jari. Namun bagi saya, Buton, Butuni, Bathin, adalah negeri yang jauh di mata namun dekat di hati.

Banyak perubahan yang terjadi. Mulai saat tiba di pelabuhan Sultan Murhum yang ramai namun airnya sudah mulai keruh tidak seperti dulu lagi. Contohnya di lokasi wisata air terjun (masyarakat setempat menyebutnya: Air Jatuh), airnya juga keruh-kotor apalagi saat musim penghujan. Ahh..pastilah di bagian hulu sana banyak terjadi penebangan hutan. Salah satu indikator tampak jelas dari kotornya air sungai dengan setumpuk sampah ranting kayu bahkan ada kayu bulat (gelondongan) yang menghambat laju air sungai di tempat wisata itu. Saya tidak menyempatkan diri untuk menengok bagaimana kondisi hutan di hulu sana sehingga air sungai jadi keruh kotor seperti itu. Namun satu hal yang pasti bahwa jika air sungai telah kotor pertanda di bagian hulu kondisi hutan sudah tidak bagus lagi. Padahal hutan adalah penyedia oksigen dan penyimpan air bagi kehidupan makhluk sekitarnya. Apakah gerangan yang terjadi dengan hutan di pulau Buton? Saya jadi paham mengapa perusahaan yang mendistribusikan air di Buton salah satu kendalanya adalah minimnya jumlah debit air-- selain masalah perpipaan dan masalah manajemen air antara pihak kabupaten dan kota. Saya juga jadi paham mengapa di kampung saya di Wajo—dan kampung lainnya-- masyarakatnya memperoleh air dari perusahaan distributor air tersebut masih “senin kamis”. Terkadang, saat di Wajo, saya biasa bercanda: “wah kita harus hemat air, jangan sampai ntuk wudhu pun berganti jadi tayammum saja…”.

Saya juga sempat singgah di pantai Kamali yang dulu belum ada—begitu ramai dipenuhi pedagang berbaris mirip pantai Losari di Makassar. Tampaknya aktivitas geliat ekonomi sedang tumbuh di Baubau sebagai ibukota Buton.

Saat tiba di kampung, bangunan yang kali pertama saya jumpai adalah masjid (Masjid Al Muttaqin) yang terletak masih termasuk area pekarangan depan rumah orang tua saya. Kata bapak, pada awalnya masjid tersebut hanya sebuah langgar, surau biasa tempat beribadah kakek kami sekeluarga. Seiring berjalannya waktu, bapak bersama keluarga melihat belum ada masjid di kampung kami. Maka bapak berinisiatif menghibahkan tanahnya untuk membangun masjid bersama warga. Surau kecil itupun mulai dibangun menjadi sebuah masjid. Saya masih ingat ketika masih kanak-kanak saat di Makassar, bapak sering menyisihkan uangnya –walau tidak banyak-- untuk dikirim ke panitia pengurus masjid guna pembangunan masjid yang sedang dirintis. Sekarang masjid sederhana itu tampak sudah cukup megah seiring semakin banyaknya bantuan sumbangan dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah kotamadya.

Telah beberapa kali saya shalat Jumat dimasjid ini. Ada hal unik yang saya amati dalam ritual prosesi sebelum shalat di masjid ini, dan sejumlah masjid di Buton, seperti Masjid Agung yang terletak di lingkungan situs benteng Keraton Buton. Mulai dari kostum aparat masjid sampai ritual prosesi sebelum dimulainya ibadah shalat Jumat. Yang jelas, sangat berbeda dari masjid lain di tanah air yang pernah saya singgahi. Saya pernah menanyakan pada para orang tua di Buton dan ternyata penjelasannya amat sangat panjang. Membuat saya tercengang. Mulai kostum aparat, prosesi shalat, struktur masjid Agung Kraton Kesultanan, struktur benteng kraton kesultanan, dan lain-lainnya, semuanya ada filosofinya. Semuanya direlevansikan dengan agama Islam. Begitu merasuknya ke semua dimensi kehidupan orang Butan ajaran Islam ini. Dari sini pahamlah saya bahwa Islam di Buton adalah Islam yang cenderung pada sufistik, Islam filsafat. Salah satu bukti Islam sufistik, Islam filsafat di Buton adalah adanya karya monumental UUD Kesultanan Buton yang dikenal sebagai Murtabat Tujuh dan UU Istiadatul Azali. Dua karya ini sarat dengan filosofi nilai-nilai keIslaman yang diimplementasikan dan dibumikan gagasannya menjadi pranata ketatanegaraan Kesultanan Buton pada masanya. Bagi saya dua filsafat tersebut adalah karya master piece dari para ulama kesultanan Butuni zaman doeloe bahkan sampai sekarang ini.

Masjid Agung Kesultanan Buton

yang terletak di situs benteng kraton Kesultanan Buton

Saya membayangkan betapa mendalam dan dahsyatnya pemahaman keislaman umara dan ulama jaman dulu di Buton sehingga ajaran Wahdatul Wujud-Martabat Tujuh Ibnu Arabi tidak sekadar dipahami sebagai ajaran sufistik-filsafat belaka. Saya juga yakin bahwa Ibnu Arabi sendiri tidak sampai pada martabat kontemplasi bahwa filsafat Martabat Tujuh-nya kelak dibumikan gagasannya oleh orang Buton. La Elangi (Sultan Buton ke-4) dan Syarif Muhammad mengelaborasinya dan mengimplementasikannya menjadi UUD Kesultanan Buton. Hal yang menarik bahwa Martabat Tujuh dikembangkan dalam kurun waktu yang hamir bersamaan di kesultanan nusantara. Di kesultanan Aceh Darussalam Martabat Tujuh dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, di Kesultanan Pasai oleh Syekh Syamsuddin dan di Jawa oleh Amongraga. Ketiga ulama tersebut mendalami filsafat tersebut sebatas filsafat sufistik untuk mengenal Al-Khalik Allah Rabbul Alamin, proses kejadian alam semesta dan proses kejadian mahkluk.

Saya pernah membaca langsung kitab Murtabat Tujuh dan Istiadatul Azali dari tulisan aksara aslinya, buri Arab-Wolio dan terjemahannya. Setelah membacanya pahamlah saya bahwa jika kitab ini dibaca oleh orang di luar Buton yang tidak memahami makna sebenarnya maka ulama jaman dulu di Buton bisa-bisa dituduh kafir, teologinya penuh dengan bid’ah. Padahal di Buton sendiri seperti juga kesultanan lain berlaku falsafah “adat bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah (Al Quran dan hadist)”. Bagi saya dan juga orang-orang tua di Buton seberapapun memukaunya buah karya kontemplasi dari ulama tabi’in wa tabain (ulama-ulama belakangan, sesudah nabi dan para sahabat) sampai kapanpun tidak akan pernah bisa melampaui ajaran Tauhid yang telah ditanamkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.

Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pedomannya di dalam Al Quran maupun hadist. Mengenai Murtabati Tujuh-nya orang Buton saya biasanya menjelaskannya dengan analogi seperti ini: di zaman nabi jika sholat menggunakan penutup kepala memakai sorban dan aurat bawah memakai sarung . Tetapi bukan berarti jika kita memakai kopiah hitam dan bercelana panjang jeans itu adalah bid’ah. Menyuap makanan disunnahkan menggunakan tiga jari tangan tetapi betapa gazalnya jika makan coto menyuapnya menggunakan tiga jari tangan dan tentu bukan bid’ah kalau dibantu memakai sendok dari logam. Kendaraan yang digunakan di zaman dulu adalah onta dan kuda tetapi bukan berarti berkendaraan sepeda motor, mobil, pesawat, super jet adalah bid’ah. Murtabati Tujuh adalah UUD Kesultanan Buton. Ulama dan umara zaman dulu di Buton menyusunnya karena berusaha memikat ummatnya, masyarakatnya, dengan mengakulturasi budaya yang sudah ada dengan nilai-nilai ajaran Islam yang luhur. Murtabati Tujuh sama sekali bukanlah sebuah “agama baru” untuk orang Buton tetapi “hanyalah” sebuah sistem yang disusun oleh ulama dan umara Buton untuk mendekatkan ummat dan masyarakatnya pada ajaran Islam dan mengatur sistem ketatanegaraan/kesultanan pada masa itu. Terbukti bahwa pada zamannya La Elangi mampu mereformasi dan membawa ummat, masyarakatnya dan kesultanan Buton pada masa itu keluar dari sejumlah krisis yang menimpa negerinya. La Elangi bisa dikatakan sebagai peletak dasar girrah (spirit baru) orang Buton untuk lebih dalam mempelajari ajaran Islam.

Jika kita menelusuri dan mendalami riwayat Islam di Buton menurut saya niscaya inilah sebagian bukti bahwa proses masuknya Islam di Buton –seperti juga masuknya Islam di nusantara--adalah melalui akulturasi dengan budaya masyarakat setempat. Secara umum demikianlah proses Islam masuk di nusantara. Dalam catatan sejarah masyarakat setempat, Islam masuk di Buton dengan jalan damai. Dibawa oleh para ulama sufi. Para ulama ini selain pengemban syiar Islam, mereka juga melakukan aktivitas perdagangan dalam kehidupannya sehari-hari. Seperti dituliskan oleh Prof Dr Alwi Shihab dalam buku Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia. Menurut Alwi Shihab, Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam yang berwajah sangar tetapi Islam sufistik, Islam berwajah teduh, dibawa oleh para pedagang yang juga adalah sufi dari tanah Arab. Mengenai proses masuknya Islam menurut Alwi Shihab mengutip manuskrip Cina yang bertarikh zaman dinasti Tang (618-907 M) bahwa Islam masuk ke nusantara pada awal abad pertama Hijriah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur bagian barat nusantara. Cina yang dimaksud dalam manuskrip tersebut adalah gugusan pulau-pulau di nusantara.

Butuuni, Bathin, Bathniy, Butun, Butung, Boeton, Buton.

Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini: siapakah yang kali pertama memberi nama gugusan pulau di jazirah tenggara sulawesi itu? Ada beragam –setidaknya tujuh--dialek, cara pelafalan, dan penulisan nama pulau ini. Mpu Prapanca dalam Kitab Negara Kertagama bertarikh 1364 M menuliskannya dalam aksara Jawi: butun. Tomme Pires ketika melakukan ekspedisi pelayaran ke perairan nusantara dalam kurun waktu 1512-1515 M, dalam bukunya Summa Oriental menuliskannya dalam aksara latin: Buton. Para pelaut, pedagang dari Bugis dan Makassar melafalkannya: butung; sama halnya pelafalan dan penulisan kampung Butung; Pasar Butung di Makassar-SulSel. Para pelaut, pedagang dari semenanjung Melayu melafakannya: butun. Fahmi Basya dalam buku One Million Phenomena: Good News of Modern Man, menyebutnya dengan Buthuun. Bangsa Portugis, Belanda dalam catatan sejarah dan peta buatannya menuliskannya dalam huruf latin: boeton.

Bagaiman dengan masyarakat pulau ini sendiri? Abdul Mulku Zahari dalam buku Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni menuliskannya: butuni. Dalam aksara Arab, Maulana Abdurrahman Haddad seorang ulama Gresik menuliskan dalam Buku Tembaga: Assajaru Huliqa Daarul Bathniy. Masyarakat setempat penghuni pulau Buton meyakini bahwa penamaan pulau Buton berasal dari bahasa Arab, yaitu butuuni, bathin, bathniy. Mereka meyakini bahwa nama negeri kediaman mereka: butuni, bathin, ada relevansinya dengan ayat suci di dalam Al Quran. Mereka menyakini bahwa yang memberikan nama pulau ini adalah para ulama yang mula-mula mendiami pulau tersebut. Ketika itu para ulama penghuni awal pulau Butuni, Bathni, belum melakukan aktivitas syiar islam secara proaktif.

Sama halnya proses penyiaran Islam di nusantara, para ulama yang sebagian juga aktivitasnya adalah sebagai pedagang--mereka tidak langsung menyiarkan Islam di tempat yang mereka kunjungi. Islam yang digenggami oleh para pedagang-muslim tersebut lebih diamalkan untuk diri sendiri. Kalaupun ada masyarakat setempat yang terpikat mempelajari ajaran Islam dikarenakan pada mulanya mereka kagum dengan perilaku para pedagang-muslim tersebut yang santun, ramah, sederhana, jujur, dan amanah dalam aktivitas dagang dan kesehariannya. Setelah masyarakat setempat mempelajari dan mendalami ajaran Islam dan melihat kandungan ajarannya yang luhur, mereka akhirnya semakin teguh memegang agama Islam.

Pada saat bangsa Portugis dan Belanda mulai memasuki wilayah barat nusantara (Johor, Pasai dan Aceh) dengan membawa misi dagang sambil “menggandeng” misionaris nasrani maka para pedagang muslim-Arab yang juga adalah para ulama tersebut melihat dan merasakan adanya sebuah challenge. Apatah lagi bahwa “agama baru” tersebut dalam praktek misionarisasinya menempuh cara yang yang dalam pandangan Islam menyimpang. Akhirnya para pedagang yang juga adalah ulama tersebut memutuskan wajibnya syiar Islam di nusantara. Ketika itu mulailah syiar Islam dilakukan secara proaktif mulai dari ujung barat nusantara sampai ke wilayah timur nusantara.

Sayid Abdul Wahid –ulama yang tercatat sebagai penyiar Islam pertama di Buton sekitar tahun 1511 M-- yang memulai syiar Islam secara proaktif, dalam kesehariannya gemar melafalkan pulau ini sebagai pulau butuni, bathni. Ketika itu, Raja Buton ke-5 Raja Mulae (raja yang pertama memeluk Islam) menanyakan mengapa melafakannya butuni, bathin? Beliau menjelaskan bahwa diberikannya nama butuni, bathni, karena beliau mentamsilkan pulau ini ibarat manusia yang jasad dan bathinnya secara kontinyu diisi dengan pemahaman akan syariat-haqiqat-ma’rifat Islam. Demikian juga manusia dari pulau ini. Beliau juga menazarkan kelak dari bumi butuni, bathni akan lahir manusia-manusia yang memiliki pengetahuan agama Islam yang mendalam, yang akan melakukan syiar Islam pada masyarakat dan negeri-negeri di sekitarnya.

Nazar dari para ulama tersebut, rupanya terwujudkan. Kelak dari bumi Butuni, Bathni, lahir para ulama yang memiliki pengetahuan Agama Islam yang kaffah (utuh). Seperti La Elangi (Sultan Buton ke-4); Haji Abdul Ganiyu (Kenepulu La Bula); La Manggapura (Sangia Wambulu); Haji Pada; Muhammad Idrus (Sultan ke-29 Oputa Mancuana Mokobadiana), selain menjabat sebagai umara juga dikenal sebagai ulama sufi, pujangga-sastrawan, yang karya-karya sufi dan sastranya bisa dibaca sampai saat ini. Muhammad Idrus pula yang secara tegas memberlakukan penegakan hukum Islam, qanun dan qisas dalam hukum pidana pemerintahannya. Begitu banyaknya karya tulis dari Muhammad Idrus sehingga budayawan Prof. Rosjidi mensejajarkan Muhammad Idrus dengan Hamzah Fansuri (Aceh) dan Abdul Samad (Banten-Sunda). Demikian halnya La Teke, cucu dari La Ngkariry (Sultan Buton ke-19) –di Konawe dikenal sebagai guru Laode Teke-- mendalami dan digembleng agama Islam di lingkungan keraton Kesultanan Buton juga dikenal sebagai ulama yang ditugaskan menyebarkan dan mengajarkan agama Islam ke kerajaan Konawe pada tahun 1785 M.

Setiap kali membaca sejarah dan karya-karya para leluhur dari Butuni, Bathin, Buton, saya selalu kagum, ada rasa bangga pada mereka. Karena riwayat dan karya mereka yang kembali digali oleh generasi sekarang bisa ditelusuri asal muasalnya dengan jelas. Bukan sekadar riwayat, cerita-cerita lisan yang tidak jelas yang bisa menyebabkan penulisan yang bias, kabur, tidak ada hubungan klausal sebab akibat seperti seharusnya metode penulisan sejarah. Manuskrip, naskah purbakala zaman kesultanan Buton tersimpan rapih baik yang ada di situs museum Kesultanan Buton, yang dikoleksi oleh pewaris manuskrip tersebut, maupun di museum Universitas Leiden (Belanda). Manuskrip dan benda-benda peninggalan zaman purbakala tersebut bisa disaksikan dan dibaca sampai sekarang ini.

Seperti umumnya kebiasaan intelektual ulama sufi zaman dulu dan sekarang ini, para ulama dan umara kesultanan Butuni gemar membuat syair kabhanti (prosa-puisi). Salah satu kabhanti yang mendeskripsikan tentang kejadian negeri Buton misalnya dalam kabhanti Kanturuna Mohelana (Pelita Sang Pelayar) saya kutipkan penggalannya berikut ini:

Tuamosi yaku kupatindamo
Ikompona incema euyincana
Kaapaaka upeelu butuni
Kumaanaia butuni o kompo
Motodhikana inuncana qura’aini
Itumo dhuka nabita akooni
Apayincana sababuna tana siy
Tuamo siy auwalina Wolio
Inda kumondoa kupetula-tulakea
Sokudhingki auwalina tua siy
Taokana akosaro butuni
Amboresimo pangkati kalangana

Artinya:
Demikian inilah kubertanya
Di perut siapakah engkau tampak
Karena engkau suka butuni
Kuartikan butuni adalah mengandung
Yang terdapat pula dalam Al Quran
Disitulah Nabi Saw bersabda
Menjadi asal sebab tanah Wolio
Demikian inilah awalnya Wolio
Tidak selesai kuceritakan semua
Sebabnya bernama butuni
Karena menempati derajat yang tinggi.

Membaca syair kabhanti Kanturuna Mohelana jika menggunakan mantiq-akal maka sungguh tidak masuk diakal bahwa Rasulullah Saw sampai menyebutkan tentang pulau butuuni. Begitu istimewanya pulau ini?? Saya lebih cenderung menafsirkan kabhanti diatas seperti pemahaman yang diberikan oleh Sayid Abdul Wahid. Beliau menamakan butuuni karena selain memang telah dikenal oleh para pedagang dari benua lain, beliau juga menazarkan bahwa dari pulau Butuni, Bathin akan lahir para ulama yang pemahaman Islamnya kaffah (utuh) dan melanjutkan syiar Islam yang telah dirintisnya.

Menghubungkannya dengan ucapan Rasulullah Saw berarti mencari hadits yang bisa ditelusuri dan sahih sanad riwayatnya. Dalam ilmu hadist, sebuah hadist yang diklaim akan sangat ketat penelusuran sanad riwayatnya untuk kemudian menetapkannya sebagai ucapan Rasulullah Saw. Apatah lagi Rasulullah Saw sendiri bersabda: “barangsiapa yang mengatakan ini adalah dari perkataan atau perbuatanku, maka kelak di akhirat akan kumintai pertanggungjawabannya”. Saya lebih cenderung menafsirkan makna “kumaanai butuuni o kompo, motodhikana inuncana qura’ani, itumo dhuka nabita akooni apayincana sababuna tanasiy” sebagai kabhanti yang menjelaskan bahwa memang di dalam Al Quran terdapat kata butuuni yang berarti perut, kandungan, mengandung. Diucapkannya kata butuuni oleh Rasulullah Saw karena memang kata butuuni ada di dalam Al Quran. Sampai sekarang yang saya ketahui belum ada bukti empiris hadits sahih yang bisa menguatkan argumen bahwa Rasulullah Saw mengucapkan butuuni sehubungan dengan pulau ini. Wa Allahu ‘alamu bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...