"Kembalikan Indonesiaku"

22 Maret 2009

Implementasi “Bhinci-Bhinciki Kuli” dalam Kerangka Kepemimpinan Buton (Bagian I)

Setiap manusia adalah pemimpin dan setiap pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawab akan urusan kepemimpinannya. Berbahagialah para pejabat yang dikaruniai kapasitas untuk memimpin orang banyak sesuai lingkup tugasnya masing-masing. Sudah sepantasnyalah mereka mencamkan betul-betul filosofis jabatan. Bukankah mereka telah menyatakan sumpah di hadapan Allah, Negara dan masyarakat Buton dalam hubungannya dengan jabatan masing-masing.

Jabatan adalah sebuah entitas yang berkorelasi dengan amanah, akuntabilitas, pelayan—bukan pusaka yang dapat digunakan seenaknya. Jabatan bisa membawa pejabatnya masuk surga, sebaliknya juga dapat menjerumuskannya ke neraka yang paling dalam. Olehnya itu jabatan hendaknya tidak dimanipulasi sebagai jargon pengabdian. Justru yang dituntut adalah perilaku-empiris (political well) yang dibingkai moralitas dalam mewujudkan loyalitas pengabdian melalui jabatan itu sendiri. Disinilah pentingnya ditanamkan komitmen; apakah pengabdian itu diarahkan hanya untuk melanggengkan jabatan—tidak peduli mengorbankan orang banyak; atau untuk penumpukan harta-kekayaan—tidak peduli sumbernya halal atau haram, ataukah untuk kemanusiaan.

Dalam falsafah kepemimpinan Buton, jabatan tidak diduduki, tidak juga dipangku, tetapi dipikul (sodha; asodha-pangka). Konteks jabatan meliputi dimensi; amanah, akuntabilitas public, pelayan public, bahkan religius karena kelak Tuhan akan menagih pertanggungjawaban pejabat yang bersangkutan. Pejabat yang bobrok moral (korupsi, kolusi, nepotisme, KKN) dapat saja berlindung dengan memanfaatkan celah perangkat hukum yang ada (praduga tak bersalah, pembuktian terbalik, penegak hukum yang kongkalikong) tetapi satu hal yang pasti semua makhlukNya akan mati—tidak terkecuali pejabat atau mantan pejabat.

Bukankah pengadilan Tuhan di akhirat kelak adalah suatu aksioma?? Pemahaman inilah yang mendasari Sultan Buton ke-8 (Mardan Ali) mengkihklaskan dirinya digogoli (digantung mati) oleh Dewan Syara Kesultanan Buton tiga abad silam meskipun saat itu beliau mempunyai cukup kekuatan untuk melawan. Beliau menyadari apalah arti kesalahannya lolo di pengadilan dunia, sementara Tuhan menantinya dengan murka di akhirat.

Pejabat adalah pemimpin (sesuai lingkup kewenangannya). Pemimpin adalah pemegang otoritas dalam system kekuasan. Dalam faham Buton, ellite (pemimpin) dan massa (yang dipimpin) ibarat dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ellite memandang massa sebagai bagian dirinya, begitu pula massa memandang ellite-nya sebagai tempat menggantungkan harapan, pengayoman, kesejahteraan, keadilan, keamanan dan lain sebagainya.

Ellite senantiasa mempertalikan yang banyak (massa) kepada yang satu (dirinya) dan mempertalikan yang satu (dirinya) kepada yang banyak (massa). Keduanya manunggal-paripurna. Sebagaimana ungkapan dalam bahasa Buton poromu yinda saangu—pogaa yinda koolota (bersatu tiada berpadu—bercerai tiada antara).

Mereka hanya dibedakan hirarki peran, wewenang, dan tanggung jawab, tetapi secara bersama-sama wajib mewujudkan social-order. Oleh karena itu taat pada pemimpin adalah wajib selama ia dalam koridor keberanaran, dan sebaliknya pula wajib dilawan (baca: beri peringatan) manakala ia berlaku zholim, aniaya, korup, dan segala hal yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan. (bersambung ..ke Implementasi II) (WM-MAM-Ful)

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...