Kami mengelarinya
Pahlawan Negeri Kami: Kesultanan Wolio Buton. Entahlah Indonesia, karena dulu
kami tidak mengenalnya. Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Liyasudiya Ismail
namanya. Sultan Buton yang satu-satunya menjabat sebayak 2 (dua) kali sebagai
Sultan---selebihnya ada Sultan yang tak lebih seumur jagung bahkan ada yang tak
lebih 14 hari, dimakzulkan karena melanggar amanah dan maru’ah rakyat negeri
kami. Rakyat negeri kami memuliakannya dengan gelar OPUTA YI KOO: "Sultan
kami Yang Bersinggasana; Bergerilya di Hutan". Semasa kecil dipanggil La
Karambau karena memiliki tubuh tegap perkasa. Beliau menjunjung tinggi maru'ah
kami. Menolak berdaulat pada bangsa ASING. Tak sejengkal pun bumi Buton sudi
diserahkan pada asing. Asing hanya akan memperlakukan kami bagai tebu dan sapi.
Syara Budiman, Murtabat Tujuh dan
Istiadatul Azali, konstitusi negeri kami kelak akan diingkari. Syariat
Islam negeri kami bukan hanya akan dinistakan tapi dimurtadkan dengan syariat
kafir. Setelah Serambi Mekkah, Atjeh Darussalam, Pasai dan Tanah Jawi, Banjar, Bali,
Bima, Gowa-Makassar ---bangsa asing itu bermimpi pula hendak tundukkan Buton.
Maka Sultan kami dan rakyat negeri kami mengumandangkan jihad fiysabilillah: "Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu. Yinda-yindamo
Arataa, Sara, Lipu Somanamo Agama". (Terjemahan bebasnya: "Semua
yang fanaa boleh hancur binasa tapi satu yang tak boleh binasa: Dien
Islam").
Maka
inilah sejarah epos yang tidak tercatat pada lembar sejarah apa yang sekarang disebut
sebagai Indonesia: sebuah nama yang belakangan datang menjanjikan surga bagi
rakyat negeri kami. Inilah kisah epos tentang kisah perlawanan Sultan kami dan
rakyat negeri kami yang menolak berdaulat pada pihak Asing.
***********
Penyerbuan
Pasukan Belanda ke Benteng Keraton Buton (1755)
“…
waar de jongst oorlog expeditie naar Bouton onder het gezaag van den te
Macassar
militerende
Captain Rejisweber” (Arsip Makassar No.73 tahun 1755—1756)“… ekspedisi perang
yang mutakhir (adalah) ke Buton di bawah kewenangan Kapten Rejisweber dari
kemiliteran di Makassar”
************
SELEMBAR kertas dalam
bentuk kuitansi melayang dari Fort Rotterdam (Benteng Rotterdam), tempat
Belanda bermarkas di Makassar, isinya adalah rincian biaya ekspedisi militer ke
Buton. Kuitansi itu bertanggal 30 Mei 1755 dan diteken oleh kepala kemiliteran
VOC Belanda di Makassar Kapten Johan Casper Rijsweber. Total biaya ekspedisi militer
itu tercatat cukup besar, sejumlah 108:19,2 Rijksdalder.
Ekspedisi militer
Belanda ke Buton itu disebabkan oleh perompakan di teluk Baubau yang dilakukan
orang-orang Buton dan Bugis terhadap Rust en Werk, sebuah kapal militer Belanda
yang singgah di Buton dalam pelayarannya
dari negeri rempah Maluku.
******
KAPAL militer Belanda
Rust en Werk memasuki laut teluk Baubau yang teduh dalam musim timur yang cerah
di akhir bulan Juni 1752, bersusulanlah ke angkasa dentuman bunyi tembakan
salvo saling sahut berbalas dari moncong meriam yang ditembakan dari geladak kapal
Rust en Werk dan dua lodji bikinan Belanda
di depan pelabuhan Baubau. Tembakan salvo berbalasan itu adalah sebuah kode
pertanda hubungan “berbesanan” yang masih terjaga. Relasi Buton—Belanda
dimulanya adalah sebagai berbesan itu, ada kesetaraan sebagai “state”
dikeduanya. Lalu tak lama, hubungan itu bersalin rupa menjadi “Ayah—Anak” yang tampaknya
disitulah mulanya pangkal tiadanya lagi berkedudukan setara dikeduanya. Belanda
sebagai yang diperayah dan Buton yang diperanak. Belanda sebagai yang dipertuan
dan Buton yang mempertuan. Sekalipun tiada setara, simbol sebagai kesatuan yang
tiada berpisah terus kuat terjalin, sebelum kemudian Belanda dengan cerdik
menelikung dan berlaku curang menyempal dengan masuk “menikam dalam selimut”.
Dari “balik layar”
yang gelap, Belanda dengan cerdik, pun licik “bermain-main”. Mereka menginisiasi
dan menjadi bidan dari lahir terbentuknya Kamboru-mboru
Talu Palena. Kamboru-mboru Talu Palena adalah semacam konsorsium politik
yang memecah klan para bangsawan Buton dalam tiga kelompok besar. Dengan
terpilah dalam sekat menjadi tiga kelompok besar itu, Belanda leluasa “menggaruk”
Buton. Tak hanya mereka turut campur dalam soal-soal penentuan kebijakan kesultanan,
bahkan telah tampak sebagai “mengatur” kesultanan.
*******
Awal Juni yang sunyi,
sebagaimana biasa, dalam paruh kedua abad keenam belas itu, Belanda adalah tamu
terhormat bagi Buton yang selalu kadatangan mereka disambut oleh hiruk pikuk sorai
penyambutan dan dentum tembakan salvo sebagai penghormatan. Sesudah Portugis
tersisih di Buton, Belanda datang mengganti mereka, bangsa tempat asal VOC itu
telah menggeser bangsa Eropa lainnya yang telah sebelumnya lebih dahulu
membangun kongsi dan perkawanan dengan Buton.
Memang Belanda itu
sangatlah pandai mengambil hati pada mulanya, di akhirnya matilah yang sebenarnya
dibawa mereka di Buton. Pada mulanya mengambil hati, dengan mudah diberi, lalu
di ujung jalan mereka mengingini “jantung”, itupun juga kemudian dengan terpaksa
diberi.
Pada awal pertemuan,
tiada dilihat oleh Belanda bahwa Buton begitu menarik dan mempunyai banyak
potensi, lama kelamaan baru timbul ketertarikan mereka, sejak itu
terbesitlah keinginan
untuk menguasai dan memiliki. Sesudah berhasil mereka membikin perkubuan dalam
klan bangsawan Buton lalu diperkelahikanlah para klan elit itu, dibuat saling
menubruk sesama mereka, serupa domba mereka diperadukan, dibuat saling menanduk
sesama mereka sendiri. Ujungnya bisa ditebak, tiadalah pemenang dari mereka itu.
Dari kerja mengadu
domba itulah Belanda mengambil untung dan perlahan memulai
menancapkan
pengaruhnya. Segala-gala terkait urusan kesultanan adalah juga menjadi urusan mereka,
bahkan sekalipun dalam soal yang paling sensitif: “menunjuk” sultan.
*******
Tanggal 23 Juni 1752,
sultan La Karambau dengan tergesa menaiki tangga kapal Rust en Werk. Ia
ditemani oleh dua pengawal, seorang syahbandar dan jurubahasa. Tampaknya
sesuatu yang genting tengah akan dirundingkan. Mazius Tetting, kapten kapal
Rust en Werk berdiri tegak di geladak serupa gagak yang terus matanya awas
mengamati rombongan La Karambau, ia tampaknya bersiap sekaligus siaga menyambut
delegasi kecil Buton itu dengan sepenuhnya waspada.
Sambutan penghormatan
yang baik di awal tak diikuti akhir yang baik. Kapten kapal Rust en Werk,
Mazius Tetting terkesiap kaget, seorang pesakitan dan residivis yang ia
penjarakan di Makassar tetapi bisa lari meloloskan diri,kini telah di
hadapannya berdiri mengancamnya dengan badik yang telah telanjang terhunus.
Ia adalah seorang
yang oleh Belanda disebut bernama Frans Frans memimpin 300 lebih orang Buton
dan Bugis menyerbu dengan beringas kapal Belanda setelah tiga harmal (tiga hari
tiga malam) perundingan Buton—Belanda di dalam kapal itu tak menemukan konklusi
dan nihil mencapai jalan selesai. Alot bukan main perundingan itu, Belanda
kukuh meminta ganti rugi atas insiden perompakan terhadap kapal dagang mereka
yang sebelumnya dijarah oleh orang-orang Buton dan Bugis di perairan Kabaena,
sedang pihak Buton hanya menyetujui sebagian dari permintaan yang memaksa dari pihak
Belanda itu.
Tak pelak, naas
datang dengan telak, insiden tak dapat dielak, keributan dengan cepat berubah menjadi
kekacauan yang rusuh, seluruh awak kapal Belanda itu habis dibunuh,
bahkanpun juga si
Mazius Tetting, komandan dan nahkoda kapal, jatuh sebagai korban tewas, ia ditikam
dengan tandas pada kiri dadanya, tepat di pembuluh jantungnya. Kapal yang megah itu
dalam sekejap kemudian menjadilah bangkai, tak bertuan dan kehilangan tuah
sebagai kapal militer yang gagah. Seluruh isi dalam lambungnya dikeluarkan,
mesiu, bedil dan meriam pada sisi kiri kanannya dipreteli, diangkut semua ke
palka, lalu dibawa sebagai barang jarahan.
Bukan main marahnya
VOC Belanda ketika kabar perompakan di laut Buton itu sampai ke telinga mereka,
Perwakilan Gubernur Jenderal VOC di Makassar sampai harus membatalkan
pelayarannya ke Batavia dan memerintahkan ekspedisi militer ke Buton dengan
segera. Dalam warna mukanya yang memerah serupa kepiting rebus karena besarnya
marahnya, ia berkali mengumpat dalam Belanda menyebut Buton sebagai anak yang “koppig”. Ia tak peduli berapa pun biaya
yang ditelannya, Buton harus dihukum, karena telah
memulai menjadi “anak nakal”.
*******
19 Februari 1755,
arakan kapal-kapal Belanda membelah laut Bulukumba. Tujuh kapal militer Belanda
pimpinan Rijsweber meninggalkan Bulukumba menuju Buton, beriringan serupa parade:
Huis te Henpad, dSe Paari (chalorp), Gligis (pancallang), Triston (pancallang),
de Meermin (chalorp), het Fortuin (chalorp), dan de Arnoldina (chalorp). Empat hari empat
malam dalam pelayaran, tibalah rombongan Rijsweber itu di Buton tepat tanggal
23 Februari 1755 pukul 16.00. Seorang awak kapal naik ke anjungan Huis te
Henpad, meneropong pada tiang pancang bendera (kasulana tombi) di Benteng Keraton Buton.
Senyum si peneropong
itu tersungging lepas, dilihatnya dengan terang bendera Merah Putih Biru
melambai terkerek penuh di sana. Menurut A.M. Zahari (II: 124), begitulah adab perkawanan
Buton—Belanda, begitu sauh dilepas dan jangkar ditambatkan tembakan salvo
sebagai penghormatan (saluutschoten) segera dilepaskan ke udara, juga bendera
Belanda dikibarkan sepenuh tiang di Kasulana
Tombi Benteng Keraton Buton sebagai penyambutan sehormat-hormatnya. Sekalipun
bendera Belanda naik terkerek penuh di Benteng Keraton Kesultanan Buton,
tembakan salvo yang dilepaskan berkali-
Kasulana Tombi kali dari kapal Adriana yang ditumpangi Rijsweber tak mendapat
balasan dari pihak Buton di darat. Segera gelagat ini dibaca oleh Rijsweber
sebagai “pertanda buruk”. Seorang kwartier-meester
(semacam utusan) dari kapal Gligis datang menemui Rijsweber melaporkan keadaan
di darat yang genting. Ia mengatakan bahwa orang Buton rupanya mengetahui
rencana penyerangan Kompeni sebab mereka kelihatan dalam keadaan siaga. Tampak
batang-batang kelapa dengan ujungnya diruncingkan dijejer membanjar sebagai barikade
pagar penghalau telah sempurna dipasang mulai di sepanjang pesisir pantai Baubau
hingga ke perbukitan di sekitar Benteng Keraton Buton. Laporan yang mematai
juga menyebutkan bahwa lebih lima ribu orang Buton telah dalam siaga
(Lightvoet, 1878:78).
Menerima laporan itu,
Rijsweber terkesiap, tapi tak kalap, dengan berat ia menarik napas panjang.
Para manusia kulit putih ini tak hanya berhidung panjang, mereka pun juga rupanya
berakal panjang.
Ketika beberapa orang
jurubahasa utusan sultan Buton datang di kapal Huis te Henpad menemui Rijsweber
untuk menanyakan maksud kedatangannya, dengan sepenuh sikap bersahabat ia
mengatakan hanya singgah untuk mengambil air minum karena kehabisan persediaan
selama dalam pelayaran dari Maluku.
Para Jurubahasa
utusan sultan Buton kemudian pulang dengan iringan salam hormat kompeni teruntuk
yang mulia sultan Buton dan seluruh pembesarnya. Tak lupa Rijsweber yang cerdik
itu menyelip menitip salam dan menyertakan pula hadiah untuk sultan yang mulia.
Sesampai para
jurubahasa utusan sultan Buton di darat, Rijsweber pun dengan diam-diam menyusul
mereka. Agar tak dikenali sebagai pembesar kompeni, ia berpakaian sebagai matros kapal. Diamatinya situasi di
darat dengan cermat, diselidiknya semua apapun, apa-apa tak ada yang abai dari
amatan mematainya.
Pada tengah malam,
pukul 24.00, Rijsweber memerintahkan pasukannya segera memulai serangan. Dengan
segera para pasukan itu melompat sigap memenuhi sekoci-sekoci dari kapal
tumpangan mereka, dengan mendayung sekoci-sekoci yang memuat pasukan kompeni
itu telah mencapai pantai Baubau pukul 03,30. Mereka bergerak cepat, berjalan
setengah berlari dan telah berada di muka Benteng Keraton Buton. Pukul 05.00.
rijweber berdiri, mengatur siasat penyerangan. Dibaginya pasukannya dalam dua
kelompok, kelompok pertama dipimpinnya sendiri masuk menyerang melalui Lawana Lanto, sedang kelompok lainnya diperintahnya
masuk menyergap dari Lawana Wandailolo.
Tepat pukul 06.00
pagi hari, ketika para penjaga membuka gerbang dengan setengah kantuk, pelatuk
senapan pasukan kompeni serentak ditarik. Terdengarlah bunyi tembakan meletup
di mana-mana. Para penjaga yang tak siap itu, menerima sial, mereka menjadi
korban tewas pertama. Bunyi letupan dari moncong senapan kompeni yang mengamuk
beradu dengan raungan melolong minta tolong dari warga, semua orang berlarian mencari
selamat, kecuali para pembesar kesultanan meladeni serangan mendadak dan diam-diam
kompeni itu dengan melakukan perlawanan.
La Karambau mengamuk
serupa kerbau liar terluka yang terlepas dari tali kekangnya, beberapa kompeni
tersungkur dikenai tikamannya. Ia kemudian mengawal Sultan
Sakiyuddin dan
keluarganya keluar dari keratin dengan melalui jalan rahasia menuju Sorawolio
dan selanjutnya ke Kaisabu.
Perlawanan kemudian
dipimpin oleh Kapitalao Sungkuabuso,
Sapati dan Bonto Ogena. Karena kalah dalam persenjataan ketiga orang
pembesar kesultanan Buton ini gugur terkenai tembak pasukan kompeni.
Pukul 16.00, serangan
kompeni mengendur, sebelum kemudian reda. Letupan-letupan bunyi tembakan hanya
sesekali terdengar diselai gemericik api yang memakan kayu dari rumah warga
yang terbakar. Karena sudah lelah, Rijsweber memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Perang yang oleh
orang Buton disebut sebagai “Kaheruna
Walanda” itu telah menelan korban gugur dari pihak Buton: Sapati, Kapitalao Laode Sungkuabuso, Bonto
Ogena, Lakina Labalawa, dan Lakina Todanga. Beberapa lainnya yang adalah
kerabat pembesar kesultanan ditawan oleh kompeni: Bontogena I Ngapa, Wa Ode Kamali, dan Wa Ode Wakato (lihat Zahari II,1977:128).
Kenepulu
Bula
Abdul Ganiu dalam syair kabhanti “Ajonga
Inda Malusa” (Pakaian yang tidak luntur)
menggambarkan peristiwa Zamani kaheruna
Walanda itu sebagai petaka kemalangan yang menimpa Buton.
Ia menulis:
Inda
urangoa tongkobungkena Walanda
Apopasiki
sabara maanusia
Sumbe-sumbere
apeelo palaisa
Apoboli-boli
indaa potoku-toku
Hengga
anana miarangana abolia
Inuncana
koo maka pokawa-kawa
Mokokompona
akoana I rumpu
Momapiyna
soa kolemo itana
Bontogena
samia te sapati
Te
samia kapitalao amate
“Tidak kamu dengar
waktu keributan Belanda
berhamburan semua
orang
masing-masing mencari
perlindungan
bercerai berai tidak
saling menolong
sampai anak istrinya
ditinggalkan
di dalam hutan baru
kumpul kembali
ibu hamil melahirkan
di rerumputan
yang sakit tidur saja
di tanah
menteri besar seorang,
sapati
dan
kapitalao mati”
(dari berbagai sumber)
*******
(to be continued)